2/13/2016

Semakin Tua, Cinta Dikalahkan Kenyataan?

Kemarin saya baru bergabung dengan geng saya waktu di SMP di blackberry groups. Semuanya cewek, jumlahnya ada 9 orang (sebenarnya 15, tapi yang bisa dikontak dan punya bb cuma 9). Dari ngobrol menanyakan khabar, ada 4 diantara kami yang janda, dua di perkawinan kedua. Ternyata hidup tidak selancar di filem2 ya…

Semakin Tua, Cinta Dikalahkan Kenyataan?

Biasalah, setelah menanyakan khabar, lokasi dan kesibukan masing2, kita ngobrolin teman2 yang lain, lalu mulailah ajang perjodohan. Kemarin yang jadi bahan poyok2an adalah saya. Mulai dari dijodohkan dengan teman SMP (yang diprotes sama teman2 yang lain) sampai tahu2 ada satu orang yang bilang, “Ini ada temen gue yang nyari istri, duda anak dua.

Posisi di kantor lumayan tinggi, mapan deh. Putih, tinggi. Islam.”. Nah lho. Ramailah yang lain menyahut supaya gayung ini bersambut. Sementara saya anteng2 saja. Yang menjodohkan rada serius, sambil mengatakan kalau saya mau, akan dihubungi. Lha saya kok malah takut.

Waktu dulu masih umur 20-an, rasanya dikenalin ngga ada takut2nya. Mulai pacaran juga ngga ada takut2nya. Ya mungkin waktu itu masih penuh angan2 dan harapan, apalagi namanya baru meniti kehidupan yang sebenarnya. Sekarang sudah 40-an, sudah punya kehidupan sendiri, akhirnya mulai mikir, hmh, apa iya saya butuh pendamping ya? Apa iya saya perlu hidup seatap dengan seseorang dan menyesuaikan diri lagi dengan orang lain?

Saya bandingkan dulu waktu masih lebih muda, kalau mau dikenalkan sama orang paling nanya, kerja di mana, tamatan mana. Sekarang pertanyaannya lebih belerot-lerot deh, perasaan. Mulai dari kerja di mana. Tinggal di mana. Kerjaannya apa. Anaknya berapa. Suka anjing apa ngga. Suka olahraga apa ngga. Orangtuanya masih ada apa ngga. Yang mana, pertanyaannya berkisar antara, apa dia bakal nyusahin gue apa ngga, atau, apa gue musti nyesuaiin diri terlalu banyak sama dia apa ngga.

Masalahnya begini. Misalnya kalau dulu saat romantisme menggebu-gebu, ga apalah pacar ngga punya mobil, kemana-mana naik motor. Nanti juga kalau kerja agak lamaan bisa nyicil mobil abis kawin. Gitu kan pikirannya. Kalau sekarang, mikir pacar pengangguran dan ga punya duit pastinya mikir, “Gile, hari gini ga ada duit, trus ntar mau numpang hidup ama gue? Sementara tanggungan gue juga bukannya ngga ada.”.

Atau, kalau dulu jarak jauh ayo dijabanin aja. Long distance relationship, makin bikin hot aja. Sekarang, haduh, hari gini, terus kalau gue mau ngobrol atau lagi butuh teman curhat, jauh amat…capek hati, biar kata ada skype juga, males deh. Iya, mungkin itu kata yang tepat, MALAS. Sudah lebih malas untuk menaruh effort untuk relationship yang butuh terlalu banyak usaha.

Atau, dalam kasus cowok yang mau dikenalin ke saya, pas saya tanya rumahnya di mana, wuiiiih, Jakarta coret, bo. Maksud gue, kalo tahu2 jadi, gue musti bangun jam berapa ke kantor? Sekarang kan enak, di tengah kota, itu aja udah macet2an. Apalagi nun jauh di sana, trus gue mau ke gym gemana?

Makanya, kalau saya dikenalin, lebih senang kenalan sebagai teman saja. Ngeri kenalan sama orang yang seperti ngejar target mau kawin lagi atau nyari istri lagi. Soalnya saya ngga buru2, saya ngga ngejar target. Saya ngga takut kalau ternyata sendirian seumur hidup, saya ngga khawatir ngga ada yang naksir karena saya sudah peot. Tapi saya khawatir kalau pihak sana berharap terlalu banyak, karena saya juga lumayan demanding. Ya iyalah, masa’ abis pacaran terus kwalitas hidup menurun?

Sebenernya bener ngga sih jalan pikiran saya? Maunya kan setelah punya pasangan, maunya hidupnya lebih tenang, lebih enak. Kwalitas hidup lebih baik. Kalau jadi lebih menurun, ngapain juga?

Misalnya nih, sekarang saya punya 3 anjing, rumah biar nyewa juga di tengah kota, relatif dekat ke kantor. Mobil lumayan oke. Trus tahu2 kawin, pindah ke pinggiran kota, ganti mobil yang lebih irit, trus anjing2 saya tidur di luar, ngga di kamar seperti sekarang. Lhaaaaaa……apa ngga mendingan hidup begini saja dan kita sebaiknya berteman saja?

Itu yang saya mau sebenarnya dari ajang2 perjodohan ini. Kenal, berteman, tanpa berharap masuk ke kehidupan saya. Makanya kalau ada yang bilang, “Ini ada yang lagi cari istri” saya suka bilang, “Saya lagi ngga cari suami. Tapi kalau temenan saja mau”. Trus orang yang mau ngenalin nyangkanya kita belagu. Apa iya belagu?

Intinya, semakin kita tua, toleransi semakin rendah karena sudah punya kehidupan yang lebih stabil dan malas merubah kehidupan dan kebiasaan itu. Dikit2 ya ngga apalah, tapi kalau sangat mayor, ya malas juga ya, saya sih malas. Maunya perubahan hidup ya tidak terlalu banyak berubah, paling tidak yang rutin2 dan kebiasaan2 yang bagus tidak ingin kita tinggalkan.

Kalau bisa, jangan ada yang berubah kecuali kita jadi punya companionship, teman curcol, teman ngobrol, jadi lebih enak. Alhasil, saya lebih suka berteman dulu, baru nanti lihat seperti apa, apa saya bisa menerima kehidupannya atau tidak. Makan waktu lama kan. Saya ngga buru2 juga. Available but not looking kan, mottonya. Bagaimana dengan Anda?

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.