2/04/2016

Bedanya Dulu dan Sekarang

Sepulang kantor, kadang saya menunggu macet bersama teman2 sambil ngopi atau makan malam. Biasanya teman2 saya ini para single juga, entah duda atau janda, punya anak atau tidak mempunyai anak. Kebanyakan mereka umurnya 40-an.

Bedanya Dulu dan Sekarang

Sekali waktu, topik yang diangkat adalah bedanya jaman kita dulu pacaran dan sekarang. Dulunya itu waktu kita masih baru2 mulai kerja, memulai karir dan masih bersemangat memandang masa depan. Rasanya dulu semua cerah, bisa dikuasai, bisa diatur, semangat ’45. Kadang setelah pulang kantor masih bisa ‘gaul’ sampai jam 12 malam dan besoknya jam 7 sudah ada di kantor lagi. Rasanya tenaganya masih luar biasa banget.

Setelah umur menginjak 35, baru deh merasa kalau badan ngga sekuat dulu. Begadang makin jarang, lebih suka di rumah kalau tidak penting2 amat. Begitu masuk umur 40, rasanya mulai belagu lagi, tetapi dengan kata lain, belagu ngga mau susah. Ngga mau susah macet, ngga mau susah nunggu, ngga mau susah aja.

Kalau dulu waktu 20-an mau nungguin depan telpon, sekarang telepon ditinggal di charger aja, mau nelpon sukur, ngga juga ya sudah. Kalau dulu diajak jalan dianya ngga mau suka kesel, sekarang ya udah, pergi jalan sama yang available aja.

Dari waktu baru lulus sampai umur sudah 43, hampir seluruh konsentrasi tercurah kepada karir. Alhamdulillah, karir berjalan lancar, rejeki ikut lancar. Kalau dulu makan di pinggir jalan dan asal2an, sekarang lebih selektif memilih makanan dan tempat makan. Pakaian dan sepatu mulai bermerek. Nah, kalau musti nangkring di jalan lagi buat dating, kok kayaknya ogah ya?

Sekali aja sih ngga apa, tapi kok sayang rambut bau asap, sayang rok, terus males juga ya kalau musti turun ke bawah lagi. Kita kan mau perbaikan nasib, bukan maksudnya ngelaba dari pasangan, tapi paling ngga pasangan yang lebih gampang ditoleransilah. Udah males kalau makan di tempat yang ngga ada AC. Males susah judulnya…lha gue sendirian hepi kok, kenapa juga jadi musti makan kringetan sama elu, gitu kan.

Kalau dulu toleransi tinggi, sekarang bener2 ngga mau susah menyesuaikan diri. Misalnya, kalau dulu masih mau nungguin dia kalau telat, sekarang kalau dia orangnya jam karet, 2x telat tanpa alasan tepat dan tanpa kasih khabar, lanjooooot. Atau, “Eh ntar telpon aja kalau udah sampai ya, gue lihat2 baju dulu”. Atau besok2 kitanya ikut2an ngaret.

Kalau dulu masih sabar kalau dia masih ngeladenin temen2 perempuannya, sekarang agak berkurang toleransinya. Misalnya, saya dulu pernah kenlan sama cowok dan dekat, tetapi dia sering cerita, “Eh, aku ke bar kemarin dan kenalan sama cewek”, “Eh, aku sering di-bbm sama orang ini, padahal gue ngga suka sama dia..”. Kayaknya, eh, ngapain sih bilang2, pengen gue cemburu? Hari gini….kalau situ masih mau lihat2 toko sebelah, ya monggo, saya lanjoooot….

Kalau dulu dibela2in dandan kalau mau ketemuan, sekarang sih apa adanya aja deh, yang penting rapih dan bersih. Kalau suka jalan terus, kalau ngga ya lanjooootttt….

Kalau dulu toleransi dengan gaya hidupnya yang agak2 jorok di kos2an, sekarang menganggap kalau jorok2an itu tanda tidak menghargai diri sendiri, jadi bagaimana bisa menghargai orang lain? Kalau dulu tuntutannya tidak terlalu banyak, sekarang rasanya tuntutannya ada aja, kalau ngga, lanjooooot…..kata siapa makin tua makin desperate? Perasaan makin tua makin panjang list yang musti dicontreng.

Mengenai toleransi yang lebih sedikit, mungkin karena kitanya sendiri sudah mulai menemukan gaya hidup yang tetap, yang lebih stabil dan mapan, sehingga malas untuk merubah gaya hidup. Maunya, sesedikit mungkin menyesuaikan diri. Mungkin karena badan dan hati ini juga sudah alot ya…cuma males aja rasanya kalau gaya hidup berubah total.

Misalnya, kalau si dia selalu minta ditemenin makan malam, lha…saya kan biasanya gym dulu..masa’ sekarang gymnya jadi malem banget? Atau dia yang takut anjing, aduh…masa’ tiap dia datang gue musti ngurung anjing2 kesayangan gue sih….

Kalau dulu kita dikasih kado apa aja hayo, sekarang saya terus terang agak menilai pemberian2. Kalau dulu memang duitnya cekak jadi ya masih sama2 dimaklumi, tetapi kalau hari gini ngasih kado yang tidak fungisional, tidak bermanfaat dan murah pula, kok kayaknya jadi mikir, ini orang gemana sih. Memang norak sih, tetapi sepertinya ekspektasi juga semakin tinggi dengan berjalannya usia.

Tante2 saya banyak bilang kalau saya terlalu banyak maunya, terlalu deskriptif, terlalu selektif, milih2. Lha iyalah. Saya kan ngga pernah main2 mencari pasangan hidup, masa ngga selektif? Masa asal ada yang mau aja? Apalagi kan ini untuk hubungan jangka panjang, daripada punya pacar/suami tapi makan hati, mendingan single dan happy aja terus, bukan?

Intinya, sah2 saja kalau semakin tua kita semakin bawel. Wong kita sudah banyak pengalaman, sudah mengalami ini dan itu. Wong kita sudah lebih mapan dalam pekerjaan dan lebih matang dalam hidup. Sudah lebih tahu apa yang kita mau dan apa yang kita harus hindari. Sudah mempunyai beberapa prinsip tambahan dan ekspektasi dari pasangan.

Dan saya percaya, walaupun semakin susah mencari orang yang sesuai dengan kita, pasti masih ada, entah di mana, orang2 yang cocok dengan kita. Yang penting, sabar dan punya pikiran terbuka, ekspektasi tinggi tetapi tidak terlalu nyeleneh dan wajar.

Justru kalau hari gini ekspektasi tidak tinggi, saya jadi mikir, lha, kemana aja saya ini, kok standarnya ngga berubah?

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.