2/18/2016

Kawin, Cerai dan Anak

Kemarin malam saya berbicara lama sekali dengan sahabat saya, sebutlah namanya X. Si X ini statusnya menikah dengan anak satu, sudah hampir 20 tahun menikah. Kalau saya perhatikan, dia jarang sekali di rumah.

Kawin, Cerai dan Anak

Kalau pulang ke rumah, mampir dulu, entah berorganisasi, ketemu teman, baru sampai di rumah jam 12 malam. Kalau weekend, sama juga, tidak ada di rumah, malah sering menginap dan kumpul dengan teman2 lain yang jauh lebih muda dari dirinya sendiri (misalnya dengan ikatan alumni2nya dia).

Sebagai teman, saya bertanya, kok kamu seperti yang tidak betah di rumah sih? Saya memang sudah tahu kalau dia dan istrinya sudah tidak harmonis lagi, sampai2 sudah tidak berhubungan badan semenjak anak pertamanya lahir (waduh, gemana itu?). Dia juga termasuk suami2 yang tidak bisa bicara dengan istrinya (yang cantik), maksudnya, berdiskusi yang intelektual dan agak ‘dalam’, sehingga mencari teman2nya untuk teman ngobrol.

Sebagai teman juga, saya tanya bagaimana istrinya ditinggal2 begitu sementara suaminya kesana kemari bergaul. Dan setelah sekian lama pisah ranjang dan tidak ngobrol, kan jadi pertanyaan orang2, kok sering banget sendiri di luar rumah tanpa pasangan.

Alasannya adalah anak. Dia takut anaknya, yang sudah remaja ini, menjadi minder. Dia takut, sebagaimana banyaknya ketakutan orang tua, kalau dia cerai, anaknya secara psikologis akan terganggu.

Nah, saya balik bertanya. Apakah sebagai seorang anak, tidak tahu kalau orangtuanya mempunyai masalah perkawinan? Apakah seorang anak tidak bertanya2 ketika seorang bapak tidak pernah ada di rumah? Ketika orangtua tidak pernah bicara, ketika hubungan orangtua dingin, apakah seorang anak tidak merasa ada yang tidak beres dengan keluarganya?

Dan pertanyaan saya kepada teman saya: apakah status kamu sekarang lebih baik untuk perkembangan psikologis anak kamu dibandingkan kalau kamu berpisah baik2 dengan istri kamu?

Dia diam dan berpikir.

Saya lanjutkan lagi, bahwa dibalik dirinya yang tidak mau menyakiti orang2 di sekitarnya dan keluarga besarnya, sebenarnya dia berlaku tidak adil terhadap istrinya yang cantik. Coba pikir, berapa lama istrinya, yang mungkin punya kesempatan untuk ketemu orang lain dan kawin lagi, hidup dengan menahan ketidak bahagiaan, dan lagi2, mungkin demi anak?

Rasanya ngga fair ya, dengan dalih berkorban menyalahkan anak. Kasihan bener itu anak. Dan anak juga manusia, mereka juga tahu kalau orangtuanya bermasalah. Saya tidak mempunyai anak, tetapi saya pernah menjadi anak. Dan saya merasa kalau orangtua saya sedang ada masalah atau hanya brantem2 kecil saja.

Dan saya bisa merasakan kasih sayang antara mereka, yang mana mempengaruhi bagaimana sebuah perkawinan itu seharusnya. Nah, kalau orangtuanya sudah tidak harmonis, bagaimana si anak tahu keluarga yang harmonis itu bagaimana?

Saya pernah mendengan seorang teman asing yang mengatakan, in marriage, you either grow together or grow apart. Dalam perkawinan, kita tumbuh bersama, atau tumbuh sendiri-sendiri. Kalau sudah satu ke kanan dan satu ke kiri, apakah perkawinan harus dipertahankan demi status?

Saya jadi ingat juga perkataan teman saya mengenai perkawinan dan anak. Bahwa janganlah anak menjadi alasan untuk kawin, dan jangan pula anak dijadikan alasan untuk tidak bercerai karena tidak bahagia.

Menurut saya, ungkapan teman saya ini benar sekali. Karena anak bukanlah barang atau object tetapi seorang manusia juga. Keputusan yang kita ambil, pasti anak yang menjadi korban. Kita harus siap untuk jujur kepada anak.

Kalau kita tidak bahagia, bagaimana orang di sekitar kita akan bahagia?

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.