1/26/2016

Kecewa, Toleran, atau Turunkan Ekspektasi?

Haaaaai, sudah lama tidak posting artikel. Alasannya kenapa, salah satunya karena kerjaan lagi sibuk. Alasan lainnya, karena saya lagi deket sama orang. Biasa toh, kadang kalau lagi ada gebetan, suka lupa temen, lupa blogging?

Kecewa, Toleran, atau Turunkan Ekspektasi?

Sudah sekitar 1.5 bulan saya penjajagan sama nih cowok. Awalnya, lagi ciggy break di lobby gedung kantor, lalu dia menongol dan mengajak kenalan. Beberapa hari kemudian, ketemu lagi di tempat yang sama. Abis itu tuker2an nomor telpon, PIN BB, lalu makan siang bareng, nangkring bareng. Baru segitu saja sih, namanya juga baru 1.5 bulan.

Overall orangnya baik, awal2nya lumayan juga buat diajak ngobrol. Double degree, mechanical engineering dan finance, kerja di oil company juga, jadi lumayan nyambunglah. Cuman, kadang saya mikir, saya rada maksa ngga sih?

Masalahnya, kita banyak bener bedanya. Selain jenis kelamin, kebangsaan dan hal2 primordial lainnya, gaya hidup kita tuh beda banget. Pertama, saya orangnya sangat disiplin kalau soal olah raga. Setiap minggu saya harus ke gym 3x. Saya juga agak terobsesi dengan bentuk badan, sehingga saya memperhatikan pola makan selain olah raga yang teratur.

Hidup saya itu bisa dibilang monoton dan ketebak banget (itu istilah teman kantor saya, yang bilang kalau orang2 Capricorn memang predictable banget). Bangun jam yang sama (kecuali weekend), makan waktu yang sama, tidur malam juga tidak lebih dari jam 10.00 malam. Keluar malam nangkring kalau hari kerja itu ngga ada ceritanya.

Selain macet kemana-mana, saya juga sudah capek dengan night scene di Jakarta. Istilahnya, been there done that. Mungkin karena faktor U juga ya, yang bikin ngga kuat begadang lagi. Lagian kalau keluar malam ujung2nya minum (yang bikin gendut) dan ngemil (bikin gendut juga).

Nah, si orang ini tidak ke gym. Beda banget sama 3 orang terakhir yang saya pacarin, semua anggota gym. Makannya juga awut2an. Selain porsinya suka ngagetin banyaknya, kadang2 yang dimakan juga yang sudah saya hindari, misalnya pizza, MacD, KFC. Minumnya pun selalu coca cola, walaupun yang diet atau yang zero, sementara saya tidak minum soft drink.

Soal hard drink, nah ini dia… Kalau saya minum itu bisa dihitung berapa kali dalam sebulan, sementara dia ini minum birnya kuat bener. Masih hobi keluar malam dan pagi2 hung over, hari kerja atau weekend ngga pengaruh. Beda ya.

Yang kedua, saya orang yang lumayan serius kalau soal janji. Biarpun janjinya cuma, “I’ll call you tonight”, tapi kalau tidak ditepati, saya bisa bete banget. Bagi saya, orang yang tidak menepati janji pasti ada alasannya yang kuat, tetapi kalau tidak, artinya orang itu tidak bisa menghargai saya dan juga menghargai ucapannya sendiri.

Nah, pria ini dua kali tidak menepati janji yang dia ucapkan sendiri (alias nelpon), yang akhirnya saya kasi tahu kalau itu adalah sesuatu yang sangat menyebalkan. Dia terima salah sih, tapi masa iya ya, sudah umur segitu masih kudu dibilangin hal2 yang basic begitu?

Obrolannya sih enak, tapi, maap ye, ngebandingin nih jadinya, sama pacar saya yang sebelumnya, beda bangetlah. Kalau yang dulu, tiap ngobrol nyambung, kalau ini kadang2 suka ngga nyambung. Norak ya. Mustinya sih ngga harus nyambung melulu kan ya.

Cuman nih, kadang2 obrolannya suka bikin kesel juga. Kadang temanya membosankan, kadang becandanya ngga nyambung. Tapi kadang2 kalau diajak ngobrol yang serius, nyambung banget dan cara pandangnya sangat obyektif. Jadi kalau ngobrol sama dia suka kayak kucing dalam karung, hari ini enak ga ya obrolannya?

Berikutnya, saya kalau lihat hari yang bagus, bawaannya pengen keluar. Entah lari, entah jalan2, pokoknya ngapa2inlah. Saya juga suka berpetualang pergi ke tempat2 yang baru, nyoba yang baru2. Nah, beliau ini hobinya nonton TV. Okelah hobbynya main golf.

Tapi apa ngga tertarik jalan2 lihat2 sesuatu yang baru, apalagi dia baru pindah ke Jakarta 3 bulan? Biasanya expat2 yang saya kenal kalau weekend sudah jalan lihat Bogor, Bandung, atau bahkan terbang ke Jogja atau Bali setelah mereka settle (ya 3 bulan masa’ belum settle sih?).

Satu hal yang kita nyambung adalah, kalau kita having fun. Kalau saya pas keluar malam dan dugem sama dia, pasti seru dan fun. Kita bisa jejogetan semaleman istilahnya. Jadi, kombinasi kalau lagi ngobrolnya enak plus dugemnya seru, fun aja.

Yang lucunya, kadang2 dia suka nanya yang menurut saya, eh, entar dulu deh, ngga usah keburu-buru, baru kenal sebulan. Saya yang ngga suka keburu-buru ambil keputusan, dan saya juga freak out kalau ditanya hal2 yang serius soal hubungan kita. Cuma, lucunya, dia selalu kontak, kasi tahu hal2 yang ngga penting, misalnya kehujanan pas main golf. Atau laporan minum berapa banyak semalem.

Sementara saya bangga dan puas karena lari 10 km, dia bangga ‘cuma’ minum 5 gelas bir. Memang sih beberapa kali dia bilang mau mencoba makan lebih sehat, olah raga dan mengurangi konsumsi alkoholnya, tapi kok ya ngomdo ya, so far?

Naaaaaah, anehnya nih, kok ya saya masih suka jalan sama anak ini. Kalau diajak lunch masih mau, diajak makan malam masih mau (padahal saya males dinner kalau bukan weekend). Dia minta tolong dipilihin beli batik mau juga. Kadang2 saya mikir, males deh, tapi kadang2 mikir, lha kita kan cuma temenan ya.

Jadi apa salahnya toleransi dikit kalau dia ngaret? Kenapa juga musti mikirin kalau dia minumnya banyak? Toh kalau sama saya dia minumnya tidak out of control. Cuma kalau sama geng-nya aja minumnya banyak. Ya, namanya orang lapangan, kerjaannya juga lagi stress dikejar deadline, ya biarin aja toh.

Beberapa hari belakangan ini, saya mikir2 setelah pulang abis nonton DVD di apartemennya yang kayak kapal pecah itu. Ngapain juga ya, saya spend time sama orang ini, yang jelas2 180 derajad bedanya sama saya? Tapi saya juga mikir, lha, ini kan masa penjajagan, masa pengenalan, ngga ada yang musti ditolerir kok.

Lagian, biarpun kadang2 dia suka rada2 nyerempet ngomongnya dan tingkahnya, kan dia bukan pacar saya, apalagi calon suami saya (bisa gila deh kalo kawin sama orang begini). Saya mulai mikir2, apa saya desperate ngga punya temen, atau apa saya senang karena ada yang mengagumi alias naksir sama saya, kemudian saya membutakan diri tidak melihat keburukannya dan menurunkan ekspektasi saya ya?

Hmmh…saya sampai nanya sama diri sendiri, pada kemana sih model2 cowok2 yang paling ngga sama pola hidupnya sama saya? Apa yang tersisa memang orang2 yang berbeda 180 derajad begini? Paling ngga saya masih bersyukur nih orang ngga psycho dan masih bisa diajak ngomong serius kalau dibutuhkan. Nah, kok ya melakukan pembenaran? Memangnya saya lagi nyari pacar ya?

Sebenarnya, sejujurnya, ini kan masa pengenalan. Inilah yang tampak sekarang. Tinggal mau berapa lama lagi menimbang apa ini hubungan naik level atau nggak. Soal toleransi tinggi dll, ya memang saya orangnya begitu, mau apa? Cuma kalau udah males, ya ntar juga males sendirilah. Ngga perlu buru2 ambil keputusan dan kesimpulan. Seperti kata sahabat saya, dinikmati aja, kalau memang diajak jalan masih enak dan fun ya dinikmati aja sebatas itu.

Kadang2 kita perempuan (kalau ngobrol sama temen2 perempuan juga) suka cenderung cepat2 ambil keputusan soal hubungan dengan orang2 yang semestinya harus dikenal lebih lama. Kemudian kalau ngga jalan, marah2 atau sakit hati sendiri.

Pada saat masih mengenal orang, kita ngga perlu punya ekspektasi yang tinggi2lah terhadap dia. Jalanin aja, kalau memang banyak ngga cocoknya, ya artinya memang statusnya dia ya hanya sebagai temen saja toh, teman hura2.

Mencari soul mate ya memang musti sabar, kadang makan perasaan dikit. Apalagi kalau jarang ketemu sama orang2 baru. Bukan berarti apa yang ada kita musti terima, tetapi apa yang ada musti ditelaah lebih lanjut apa worth it buat ‘naik pangkat’ jadi partner.

Ngga gampang mencari orang yang tepat dan cocok, apalagi bagi orang2 seperti saya yang sudah 40-an, sudah punya pola hidup dan gaya hidup sendiri. Toleransi untuk hal2 ngga penting kayaknya sudah males bener deh, malas menyesuaikan diri, malas sebel2, malas seada-adanya malas. Cocok lanjut, ngga move on.

Jadi memang manusia ini, untuk saat ini, memang bukan orang yang tepat untuk dinaikin pangkatnya, betapapun dia naksirnya sama saya. Saya ngga desperate. Saya ngga punya toleransi tinggi. Dan saya juga malas menurunkan ekspektasi saya terhadap partner saya kelak. Jadi ngga apa.

Kecewa sih, ngga sesuai ekspektasi, tapi look at the bright side, lampu kuningnya sudah menyala-nyala, malah mungkin lampu merah tuh. Mendingan berhenti daripada celaka, kan?

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.