1/28/2016

Expat, Seperti Apa Sih?

Mohon di catat, saya ngga punya pacar banyak tapi sempet deket dengan beberapa expat. Sempat 2 atau 3 kali berhubungan serius, yang akhirnya kandas karena orangnya harus lanjut pindah ke negara lain (dan saya ngga mau diajak). Saya juga punya beberapa kawan expat yang suka share pandangannya tentang perempuan Indonesia, atau teman2 perempuan yang punya pacar expat dan akhirnya menikah.

Expat, Seperti Apa Sih?

Kalau saya bicara soal expat, kebanyakan expat kulit putih alias bule’ karena lingkungan saya kebanyakan orang2 bule’. Expat Jepang, Korea, India, Malaysia, saya belum pernah dekat (satu dari Malaysia mungkin, yang kandas juga, hehehe).

Karena namanya juga expat, umumnya mereka hanya singgah di Indonesia karena tugas yang diberikan oleh perusahaannya. Sebagaimana saya juga kalau jadi expat dibayar lumayan asik, mereka juga di sini dibayar asik banget. Kadang suka sirik deh, kalau dengar mereka bisa terbang ke Bali cuma untuk weekend, sementara kalau kita ke Bali ngga mau rugi, maunya tinggal agak lamaan.

Kebanyakan expat dari Eropa dan Inggris suka traveling dan exploring, kadang suka nyampai ke tempat yang sangat remote. Kalau yang dari Amerika kurang suka berpetualangan sepertinya, biasanya ke tempat2 yang temannya sudah kunjungi dan musti aman (karena perusahaannya kasih travel warning dari waktu ke waktu).

Selain mereka suka exploring, mereka juga biasanya sudah singgah dari satu negara ke negara lain karena tugas, karena itu umumnya pandangan mereka tentang dunia itu lebih luas dan banyak hal yang menarik yang bisa dibicarakan sama mereka. Umumnya teman2 saya yang expat pandangannya tidak sempit, lebih fleksibel dan tidak terlalu judgemental terhadap orang2, karena sudah ketemu orang banyak dan batas antara benar dan tidak itu relatif dari tempat ke tempat.

Ini kalau expatnya bener ya, maksudnya, expat yang rendah hati, tidak sombong dan mau belajar tentang kehidupan orang2 ditempat yang mereka singgahi. Biasanya orang2 begini maunya punya teman2 yang bisa menambah nilai2 kehidupannya mereka juga, jadi cari teman2 yang bisa diajak ngobrol dan melakukan banyak hal bersama-sama.

Maklumlah, tinggal di negara orang yang jauh dari keluarga dan teman2 yang familiar, mereka ingin mencari teman yang enak diajak ngobrol dan “bermanfaat” supaya persinggahannya tidak membosankan dan menyenangkan.

Mereka juga cukup terbuka mengemukakan pendapat. Beda dengan kita yang sering basa-basi, mereka lebih direct dan tidak malu-malu. Kalau mereka suka dengan kita, mereka tidak sungkan2 menunjukkannya, tapi kalau mereka sudah tidak suka, mereka juga tidak mau buang2 waktu dengan berbasa-basi. Mereka juga lebih mandiri, tidak melulu harus ditemani kemana-mana dan terus terang kalau lagi butuh me time atau nangkring dengan teman2nya.

Jadi mereka tidak terlalu appreciate perempuan2 yang minta ditemenin kemana-mana terus, sebagaimana banyaknya perempuan2 kita yang sering banget minta diantarin sana sini sama pacarnya (duh, kalau temen2 cowok saya complain karena musti nganter pacar2nya ke salonlah, belanja ke mall…). Jadi mereka lebih appreciate cewek2 yang independent.

Nah, apa mereka bisa serius?

Kadang yang jadi kendala buat kita adalah agama. Umumnya mereka bukan Islam, dan kadang mereka terbuka bahwa mereka tidak terlalu percaya sama Tuhan. Ada juga yang tidak kepingin kawin karena tidak mau terikat. Tetapi kalau sudah ketemu jodoh, ya apa juga dijabanin asal bisa bersama, iya ngga? Jadi kalau Anda memang lagi cari pasangan hidup, dari awal tahu deh, ini bule’ bagaimana pandangannya tentang perkawinan, terutama tentang agama. 

Ada sih, beberapa bule’ temen saya yang saya temui terbka dengan kemungkinan ketemu pacar di tempat singgahnya terus berlanjut, tapi biasanya mereka tidak terlalu suka dikonfrontir masalah komitmen. Jadi siap2 saja kalau tiba saatnya ditinggal dan tidak diajak atau diajak long distance relationship (capek deh).  Tapi kalau orangnya serius, ya, seperti teman2 saya, mereka dilamar dan dibawa keliling dunia juga.

Yang jadi masalah juga, pastinya kalau si perempuan mempunyai karir dan berpenghasilan cukup oke, alias bukan mendompleng hidup doang. Kebanyakan tidak mau meninggalkan karir yang sudah dibangun dari bawah, dan tidak mau meninggalkan comfort zone di negri tercinta ini.

Lha, di negeri sendiri bisa bayar supir, pembantu, tukang lulur panggil ke rumah, di negeri orang apa bisa? Bagus kalau bisa dapat kerjaan yang sesuai di negeri sang expat yang sesuai karir. Kalau statusnya nanti cuma “ikut suami”, apa ngga sayang? Nah, siap nggak nantinya, atas nama cinta, meninggalkan kehidupan pribadi?

Naaaahhhh..yang perlu diwaspadai nih…

Biasanya, expat2 ini banyak duitnya. Fasilitas kantor untuk supir dan pembantu, juga apartment yang jauh lebih baik dari di negaranya, allowance yang besar dan gaji yang lumayan banget untuk hidup di Indonesia yang living costnya lebih murah. Dan kadang uang membuat mereka menggampangkan segalanya, termasuk urusan perempuan.

Yang tampangnya sedang2 saja di negaranya, bisa jadi merasa sangat ganteng kalau didekati perempuan2 yang memang pengen duitnya mereka. Karena memang mereka bisa royal mentraktir karena tahu mereka duitnya lebih banyak mungkin, mereka jadi merasa seperti gods gift to women’. Expat begini nih yang musti dijauhin, karena cuma bikin sakit hati doang.

Kadang mereka juga cuma cari pasangan selama mereka di sini, karena mereka ngga mau ribet sama komitmen kalau mereka dipindahkan lagi ke tempat lain. Makanya kalau si perempuan ngomongin soal komitmen, mereka suka agak takut. Karena mereka mottonya having fun aja. Jadi silakan memanage ekspektasi kalau tidak mau sakit hati ujungnya.

Mungkin yang jenis akhir ini yang rada2 banyak, expat2 standar tapi merasa dewa, karena mungkin di negaranya situasinya ngga se friendly di sini, tiba2 menjadi ‘barang eksotis’ terus kaget.

Ada juga yang saking kagetnya jadi spoilt. Dan kadang perempuan Indonesianya juga yang, mungkin sudah menjadi didikan ibu2 kita, bahwa kita musti meladeni kali ya, jadi mau aja bebersih dan ngurusin mereka, yang mana di negaranya mereka ngurus diri mereka sendiri.

Kalau saya sih ngga deh…karena saya pernah tinggal tanpa pembantu dan juga tinggal di negri orang sendiri, dan lihat bagaimana mereka di negaranya, cuci piring aja sendiri, nyuci aja sendiri.

Yang beda lagi, mereka mempunyai kultur minum alkohol. Umum bagi mereka untuk keluar sama teman2 kantor dan minum, pulang sampai pagi. Kalau sudah begitu, suka senewen kan, yang nungguin, ini di mana, sama siapa. Jadi buat temen2 yang ngga minum banyak, kasih tahu dari awal atau lihat2 mereka ini minumnya kayak ikan apa ngga.

All in all, sebenernya mereka ini fun kok buat hang out atau temenan. Buat pacaran juga oke aja, cuma buat seriusan memang kudu hati2. Banyak yang musti disiapkan, mental terutama, untuk siap2 cross culture dan cross habit. Pengalaman saya ketemu expat sih macem2, ada yang dari Itali, Inggris, Australi, Amerika, Malaysia, Kanada, Perancis, dan masing2 ada trademarknya sendiri.

Yang paling banyak minum adalah orang Inggris, Australi dan Amerika. Orang2 Eropa biasanya bisa minum secara moderat dan lebih menikmati minumnya dengan teman2nya dengan menikmati suasana. Yang saya suka, cowok2 Eropa biasanya lebih pandai menyenangkan pasangannya, lebih romantis. Misalnya, masak untuk partnernya (hati2 kalau dia expect something else after that…jadi siap2 saja), nice wine and nice chat.

 Selama saya deket sama orang Amerika, makanannya rada standar ngajak datenya, sampai saya ngubah tempatnya (gak mau dong, dibawa ke tempat yang saya bisa bayar makan siang, buat dinner beda dikit dong).  Mungkin karena orang Amrik lebih ngga adventurous kali ya.

Anyways, intinya sih mereka sama aja, mereka manusia juga. So treat them like other human beings. Dan sebagaimana namanya ketemu cowok, selalu harus hati2 menjaga hati.

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.