1/24/2016

Lebaran Itu Capek!

Bagi beberapa orang, menghadiri acara resepsi perkawinan akan 'lebih baik' daripada berkunjung ke rumah saudara pada saat Lebaran. Lebaran itu capek, kata sang Janda. Kenapa?

Lebaran Itu Capek!

Lebaran. Kadang-kadang suka males banget ngebayangin lebaran. Malesnya, ya sowan ke rumah saudara-sodara. Sekarang sih sudah lumayan ngga males, tapi waktu baru-baru cerai malessss banget.

Mungkin ada 3 kali lebaran saya pergi dari Jakarta dan menyelam. Pas hari lebarannya menyelam. Karena apa, males ditanyain. Males ada yang sok akrab terus musti jawab pertanyaan-pertanyaan yang standar banget.

Waktu saya dalam proses cerai, terus terang orangtua saya tidak terlibat. Selama pisah rumah, satu setengah tahun saya rahasiakan. Saya tinggal di Apartemen Rasuna, dan kalau ada event-event keluarga, mantan suami jemput ke apartemen dan belaga seolah-olah tidak ada apa-apa. Sampai akhirnya saya haru beritahukan karena proses pengadilan mulai diaktivasi.

Saya inget banget waktu memberitakan hal tersebut ke orangtua, mereka sangat concerned dengan…status mereka! Sakit hati banget lho, mereka ngga nanyain bagaimana keadaan saya dan perasaan saya, tapi malah saya dihujani kata-kata pedas karena sudah mencorengkan aib di keluarga. Karena itu, saya jadi malas ketemu dengan orangtua, apalagi menghadiri acara-acara keluarga.

Nah, dari pihak ibu saya yang separuh Padang, kami selalu mengadakan reuni pada hari pertama lebaran. Keluarga ini bisa dibilang keluarga aristokrat, mulai dari generasi nenek saya semuanya berhasil. Kalau bukan guru, dokter. Dalam acara itu, ada acara update masing-masing keluarga. Biasanya memberitahukan anak lulus, ada cucu lahir, seperti itulah.

Adik saya pernah bilang sebelum Hari-H, “Wah, nanti kita bilang ngga ya, kalau si kakak cerai?”. Gile, mana lagi sensi-sensinya, saya sih diem aja, cuma bilang, “Kalau pantas diberitahukan ya bilang saja”. Use your common sense aja deh. Akhirnya, saya malah pergi berlibur diving ke Raja Ampat dan entah ke mana lagi saya lupa tuh yang 2 trip lagi. Aman tenteram damai jauh dari pertanyaan-pertanyaan.

Dua tahun yang lalu, saya mulai tinggal di Jakarta untuk bisa merayakan lebaran, menimbang si bokap sudah tua. Tapi tetep aja lho, ada kata-kata seperti, “Ya, saya sih mikirin kamu karena kamu ngga ada yang jagain”. (Padahal dari keluarga kita bertiga, mungkin saya yang terbukti paling mandiri ya, able to take care of myself and menghadapi dan menyelesaikan masalah sendirian tanpa menyusahkan orang). 

Ada saja kata-kata yang, mungkin, biasa-biasa saja tapi males aja ngedengernya. Ya, namanya juga bokap, hobinya menasihati. Ya telen aja. Judulnya, kalau lebaran sama keluarga itu makan hati deh.

Ternyata, (mau bilang Tuhan baik banget tapi kok ngga tepat ya) pas saat saya “ngumpet”, ada beberapa anggota keluarga, perempuan juga, yang bercerai. Bedanya, yang dua ini tidak kerja dan kembali tinggal sama orangtuanya. Dan mereka punya anak, sementara saya nggak. Paling ngga, orangtua saya merasa bahwa hari gini, cerai sudah dilihat dari sudut pandang yang lebih terbuka.

Yang masih suka ditanyakan orang-orang (tapi selalu bisa ngeles) adalah pertanyaan, “Jadi sekarang sudah dapat gantinya dia belum?”. Buset deh, waktu itu baru juga 2 tahun single, alias surat-surat sudah beres, lagi settling down dengan rumah kontrakan baru, lagi ngisi rumah dan bergabung dengan dua anjing kesayangan si Aba dan Atun (maklumlah, dulu-dulu ngga bisa nata rumah dengan furniture selera sendiri), ditanya kapan mau kawin lagi.

Biasanya begini nadanya, “Siapa pacar kita sekarang?”. Kalau jawabnya, “Ngga ada”, pasti berlanjut. Males kan.

Atau, pertanyaan sepupu, “Kenapa sih cerai?”. Ya gemana ya, udah ngga cocok aja. Maksudnya gini, itu kan pertanyaan yang agak pribadi ya. Dan itu membutuhkan penjelasan yang panjang. Belum lagi kan menceritakan itu berarti mengingat-ingat kejadian yang, ngga terlalu menyenangkan. Akhirnya mau jawab gemana selain, “Ya udah ngga jodoh”. Basi banget kan?

Yang lebih seru lagi kalau mulai ada yang ngejodoh-jodohin, “Elu mau ga, gue punya temen duda, tapi nyokapnya rada rese sih…”. Lha! Udah tau nyokapnya rese, terus emangnya gue mau hidup gue yang sudah ok ini jadi rese? Ngga deh. Kalau pasangan gue ngga bikin hidup gue lebih enak dari sekarang, ya ngapain juga ya?

Kalau ada mak comblang begini, palingan bisanya ngeles dan bilang, “Eits, ini udah pernah kawin, masa’ gue round dua yang itu belum satupun, jodohin sama yang belum pernah kawin aja dulu, yang masih tingting”.

Terus, yang males itu, keliling-keliling sendirian. Kadang saya suka tag along Bapak dan Ibu saya. Tapi kadang-kadang ada keluarga yang saya musti samperin sendiri, karena posisinya lebih muda dari bokap, tapi itu om saya.

Agak celingukan ya, datang sendiri, bawa mobil, pake kain, apalagi kalo bukan keluarga yang dekat banget. Mestinya ngga apa sih, tapi males aja bawa mobil, hehehe…. Nah ini, kebiasaan jadi janda yang belum terbiasa: disetirin kemana-mana.

Tapi beneran. Saya mendingan ke tempat resepsi perkawinan sendiri daripada berkunjung ke rumah saudara pas lebaran. Kalau resepsi kan paling ngga bisa ngebaur sama temen-temen. Kalau lebaran, kadang yang datang aja kita ngga tahu siapa. Trus celingak, celinguk, ujung-ujungnya makan es buah lagi, somai lagi, bego bener dah, mati gaya. Untungnya, saya punya saudara sepupu yang duda juga, dan biasanya kalau lebaran, kita yang jomblo-jomblo ini bikin list siapa yang musti disamperin.

Sayangnya tahun ini dia ngga balik dari Australia, jadi saya tahun ini cuma ke rumah orangtua… Sisanya jaga anjing-anjing yang 4 ekor itu di rumah.

Satu hal yang lucu banget, tahun lalu kita pada kumpul di Bogor, di tempat adiknya bokap. Banyak banget keluarga dari pihak bokap, termasuk generasi di bawah saya yang piyik-piyik sampai yang SMA. Keponakan saya yang umurnya masih 5 tahun dan sedang banyak bertanya itu juga hadir. Nah, saya dipanggil “Mak Tuo” oleh keponakan saya (sama dengan Bude kalau di Jawa).

Lagi saya dan sepupu berkumpul, datanglah si keponakan ini hendak bermanja-manjaanan dengan Mak Tuonya, tetapi sembari bertanya kencang-kencang, “Mak Tuo, kok ngga ada Pak Tuonya?”. Itu yang namanya saudara-saudara saya ngakak, sembari jawab, “Pak Tuonya udah ke laut”, “Pak Tuonya yang mana ya, banyak lho”, “Mak Tuo yang ini ngga butuh Pak Tuo…”.

Serulah kalau lebaran. Waktu baru-baru cerai rasanya emang rada males, tapi lama-lama sepertinya orang-orang sudah lebih nerima kok. Ya, mungkin ngga perlu juga nervous, toch mereka juga udah ngegosipin kita di belakang, ngga bakalan nanya di depan.

(Eh, masa ada lho, yang nanya, “Eh, mantan laki elu itu ternyata homo ya?”. Waks, wong dia udah kawin lagi jugaaaaa. Duh, gosiiip…gosip!).


(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.