2/20/2016

Apakah Kita Melihat ke Arah yang Salah?

Minggu lalu saya makan bersama teman-teman wanita saya. Kebetulan kita semua single, dan mulai membicarakan siapa2 yang kita temui selama ini. Kebanyakan kita ketemu dengan orang-orang yang, yah, tidak bisa diharapkan untuk menjadi pasangan hidup.

Apakah Kita Melihat ke Arah yang Salah?

Salah satu teman saya yang akan berulang tahun ke 50 kemudian memberikan komentar. Cukup menarik komentarnya. Begini:

“Mungkin selama ini kita mengarahkan pandangan kita ke arah yang salah dalam mencari pasangan. Kadang kita ingin pasangan yang ganteng, sukses, berhasil, padahal mungin orang-orang yang biasa saja yang justru bisa membuat hidup kita lebih tenang.

Misalnya, cowok yang kamu ketemu di gym dan selalu mematut-matut dirinya di depan kaca. Dia mingkin cowok idaman kamu, yang akhirnya akan menyakiti kamu karena dia tidak terlalu peduli dengan kamu karena sibuk mengagumi dirinya sendiri. “

“Bisa jadi cowok yang biasa2 saja yang berusaha keras untuk menjadi yang baik yang justru adalah cowok yang baik untuk kita. Mereka yang biasa dan bersahaja yang justru lebih menarik karena banyak perjuangan hidupnya”.

Nah. Apakah kita selalu mencari di kol yang salah? Di tempat di mana cowok-cowok yang keren, kaya, berhasil berkumpul? Cowok-cowok yang terlalu cinta pada diri mereka sendiri? Atau apakah kita mau melirik sedikit ke arah cowok-cowok yang biasa-biasa saja, yang mungkin mempunyai satu atau dua point yang menarik dan berkualitas?

2/19/2016

Cerai, Diselamati?

Kemarin saya buka group di blackberry saya. Isinya teman2 SMP saya, geng main saya yang perempuan semua. Baru2 ini ada seorang teman yang sedang mengajukan cerai.

Cerai, Diselamati?

Dan, yang menarik, banyak dari teman-teman saya yang mengucapkan, “Congratulations ya…” kepada teman yang akan cerai ini. Hmmh, apakah perceraian itu memang sebuah pencapaian prestasi sehingga perlu diselamati?

Memang di group ini banyak yang perkawinannya, terutama yang pertama, gagal. Ada yang menikah kembali. Ada yang tetap single seperti saya. Ada juga janda ditinggal mati. Saya, yang janda cerai saja, waktu mengambil keputusan cerai rasanya dunia mau runtuh karena merasa gagal.

Mungkin beda kalau suami tukang pukul atau tidak pernah memberi nafkah lahir batin kepada kita, keberanian untuk berpisah mungkin patut untuk diselamati. Itupun saya rasa agak aneh, karena pastinya tidak ada orang yang kawin untuk kemudian bercerai.

Jadi, fenomena ini aneh. Apakah memang teman2 saya merasa bahwa mereka menyesal menikah? Apakah pernikahan itu begitu gelapnya sehingga ketika perkawinan itu berakhir rasanya lega dan perlu diselamati?

2/18/2016

Kawin, Cerai dan Anak

Kemarin malam saya berbicara lama sekali dengan sahabat saya, sebutlah namanya X. Si X ini statusnya menikah dengan anak satu, sudah hampir 20 tahun menikah. Kalau saya perhatikan, dia jarang sekali di rumah.

Kawin, Cerai dan Anak

Kalau pulang ke rumah, mampir dulu, entah berorganisasi, ketemu teman, baru sampai di rumah jam 12 malam. Kalau weekend, sama juga, tidak ada di rumah, malah sering menginap dan kumpul dengan teman2 lain yang jauh lebih muda dari dirinya sendiri (misalnya dengan ikatan alumni2nya dia).

Sebagai teman, saya bertanya, kok kamu seperti yang tidak betah di rumah sih? Saya memang sudah tahu kalau dia dan istrinya sudah tidak harmonis lagi, sampai2 sudah tidak berhubungan badan semenjak anak pertamanya lahir (waduh, gemana itu?). Dia juga termasuk suami2 yang tidak bisa bicara dengan istrinya (yang cantik), maksudnya, berdiskusi yang intelektual dan agak ‘dalam’, sehingga mencari teman2nya untuk teman ngobrol.

Sebagai teman juga, saya tanya bagaimana istrinya ditinggal2 begitu sementara suaminya kesana kemari bergaul. Dan setelah sekian lama pisah ranjang dan tidak ngobrol, kan jadi pertanyaan orang2, kok sering banget sendiri di luar rumah tanpa pasangan.

Alasannya adalah anak. Dia takut anaknya, yang sudah remaja ini, menjadi minder. Dia takut, sebagaimana banyaknya ketakutan orang tua, kalau dia cerai, anaknya secara psikologis akan terganggu.

Nah, saya balik bertanya. Apakah sebagai seorang anak, tidak tahu kalau orangtuanya mempunyai masalah perkawinan? Apakah seorang anak tidak bertanya2 ketika seorang bapak tidak pernah ada di rumah? Ketika orangtua tidak pernah bicara, ketika hubungan orangtua dingin, apakah seorang anak tidak merasa ada yang tidak beres dengan keluarganya?

Dan pertanyaan saya kepada teman saya: apakah status kamu sekarang lebih baik untuk perkembangan psikologis anak kamu dibandingkan kalau kamu berpisah baik2 dengan istri kamu?

Dia diam dan berpikir.

Saya lanjutkan lagi, bahwa dibalik dirinya yang tidak mau menyakiti orang2 di sekitarnya dan keluarga besarnya, sebenarnya dia berlaku tidak adil terhadap istrinya yang cantik. Coba pikir, berapa lama istrinya, yang mungkin punya kesempatan untuk ketemu orang lain dan kawin lagi, hidup dengan menahan ketidak bahagiaan, dan lagi2, mungkin demi anak?

Rasanya ngga fair ya, dengan dalih berkorban menyalahkan anak. Kasihan bener itu anak. Dan anak juga manusia, mereka juga tahu kalau orangtuanya bermasalah. Saya tidak mempunyai anak, tetapi saya pernah menjadi anak. Dan saya merasa kalau orangtua saya sedang ada masalah atau hanya brantem2 kecil saja.

Dan saya bisa merasakan kasih sayang antara mereka, yang mana mempengaruhi bagaimana sebuah perkawinan itu seharusnya. Nah, kalau orangtuanya sudah tidak harmonis, bagaimana si anak tahu keluarga yang harmonis itu bagaimana?

Saya pernah mendengan seorang teman asing yang mengatakan, in marriage, you either grow together or grow apart. Dalam perkawinan, kita tumbuh bersama, atau tumbuh sendiri-sendiri. Kalau sudah satu ke kanan dan satu ke kiri, apakah perkawinan harus dipertahankan demi status?

Saya jadi ingat juga perkataan teman saya mengenai perkawinan dan anak. Bahwa janganlah anak menjadi alasan untuk kawin, dan jangan pula anak dijadikan alasan untuk tidak bercerai karena tidak bahagia.

Menurut saya, ungkapan teman saya ini benar sekali. Karena anak bukanlah barang atau object tetapi seorang manusia juga. Keputusan yang kita ambil, pasti anak yang menjadi korban. Kita harus siap untuk jujur kepada anak.

Kalau kita tidak bahagia, bagaimana orang di sekitar kita akan bahagia?

2/17/2016

Menikmati Hidup

Wah, sudah lama tidak menulis di blog ini. Masalahnya, selain sibuk, sedang tidak ada insipirasi. Sibuknya sibuk di kantor dan sibuk cuti (baru pulang dari Halmahera Barat). Inspirasinya kok ya ndak ada buat menulis….

Catatan Tentang Menikmati hidup


Tapi saya coba tulis ya, mengenai status saya sekarang ini: saya sedang tidak jatuh cinta pada siapapun juga. Rasanya belakangan ini banyak sih orang2 yang menarik, ganteng, baik, tapi ujung2nya semua jadi temen karena saya tidak ada perasaan apa2 tuh sama mereka.

Bagaimana rasanya tidak merasakan cinta kepada siapapun?

Rasanya bebas banget. Ngga ada ketergantungan harus telepon si dia tiap hari. Tidak ada rasa salah kalau pulang malam. Tidak menerima telepon atau SMS menanyakan saya ada di mana, sedang apa, makan apa. Kalau mau cuti tinggal angkat koper dan berangkat. Tidak ada rasa bersalah kalau sedang bicara atau sedikit dekat dengan cowok kalau sedang pesta.

Intinya, secara batin, rasanya bebas.

Tidak tahu ya, 2 tahun belakangan ini rasanya hatinya kebas, ngga tertarik sama yang namanya cowok. Ada sih yang melipir-melipir ke arah saya, tetapi akhirnya ya jadi temen, karena, ya itu tadi, rasanya perasaan sudah kebas sehingga tidak ada perasaan seperti, “Dia telpon saya apa ngga ya?”, “Dia seneng sama saya apa ngga ya?”…rasanya cuek aja gitu, terserah dia mau apa, saya mah menikmati suasana yang ada sekarang saja.

Kenapa ya begitu? Apa belum ketemu sama yang cocok aja? Apa memang pada umur2 tertentu, hati kita menjadi kebas? Apa hormon berpengaruh sama ketertarikan kita terhadap lawan jenis ya?

Yang penting sekarang sih saya menikmati apa yang ada saja. Ada 3 anjing di rumah ditambah 2 orang anak asuh. Itu sudah membuat rumah saya ramai dan seru. Teman selalu ada: teman menyelam, teman jalan2, teman curhat (walau bingung apa yang mau dicurhatin), teman Zumba, teman ngopi. Teman perempuan maupun teman laki2. Rasanya hidup ini sudah komplit, walaupun banyak dari pembaca yang bilang hidup ini tidak komplit kalau tidak ada suami dan anak.

Nih. Dari sekian banyak suami istri yang saya kenal, lebih dari 50% tidak merasa betah di rumah dan memimpikan hidup sendiri.

Terus, saya hanya perlu bersyukur bukan?

2/16/2016

Para Suami yang Tak Bicara

Sebetulnya berlaku sama dengan istri2 yang tidak bisa komunikasi dengan suami2 mereka, tetapi biasanya perempuan itu lebih expresif dan ingin bicara, sementara suami2 mereka yang malas mendengar.

Para Suami yang Tak Bicara

Tulisan ini terinspirasi karena saya mendapatkan SMS dari seorang sahabat baik saya, seorang laki2 yang sudah menikah lama sekali, dan ingin curhat mengenai pekerjaan kepada saya. Terbit pertanyaan, kenapa sampai harus bicara dengan orang luar mengenai masalahnya, kan istrinya ada?

Alasannya ketika ditanya adalah, “Istri gue ngga enak diajak ngomong, ngga bisa diajak bicara”. Waduh. Apa mereka merendahkan kemampuan intelektualitas sang istri yang memang ibu rumah tangga biasa? Atau memang komunikasi mereka buruk? Kalau “level” istrinya berbeda dengan “level” intelektualitas dia, itu salahnya siapa?

Mereka bukan curhat mengenai istrinya dan masalahnya…ya, ada juga sih yang curhat karena istrinya boros, ngga pedulian dengan pasangannya. Tetapi ini masalah2 yang sebenarnya bisa diomongin sama istri mereka kok ya malah diskusinya sama perempuan lain. Misalnya, masalah penyakitnya, atau masalah kantor.

Seingat saya sih, bapak dan ibu saya bicara soal segala macam persoalan, entah rumah tangga, anak, bahkan kantor. Walaupun ibu saya bukan orang minyak, tapi dia bisa mendengarkan keluh kesah bapak saya yang stress. Atau bapak saya bukan seorang dokter, tapi bisa memberikan solusi apa yang musti dilakukan. Mungkin karena orang luar, sehingga bisa obyektif memberikan saran.

Kembali ke suami2 yang tidak bisa bicara dengan istri. Kadang2 mereka berkeluh kesah tentang istri mereka yang terlalu boros. Ada yang komplain istrinya tidak perduli sama suami, kalau suami pulang, dia malah pergi dan meninggalkan anaknya untuk diurus babysitter, yang pulang pas suami pulang kerja juga.

Lha, kok komplainnya ke saya, ya ngomong dong sama yang bersangkutan. Kalau digitukan, mereka bilang, “Sudah beberapa kali dibilangin tetapi tidak mau mendengar, capek deh gue”. Lha, masa’ orang lain yang musti ngomong ke istrinya?

Kenapa sih suami2 tidak bisa ngobrol dengan istrinya? Tidak bisa komunikasi dengan istrinya, malah komunikasi dengan teman perempuannya? Saya saja suka malas kalau bicara soal masalah saya sama laki2 yang sudah ada istri, karena takut menyita waktu keluarganya.

Kecuali kalau lagi kumpul ramai2, biasanya sekelebat2 curcol dikit2lah, tapi lebih enak curhat sama temen perempuan deh rasanya. Lebih aman, tidak mengundang gossip..maklum, janda itu digosipinnya macem2.

Hai, suami2 yang tidak bisa ngobrol dengan istrinya selain, “Anak2 sudah tidur?”, “Hari ini masak apa, Bu?”, apa yang salah dengan hubungan kalian sehingga kalian tidak bisa saling cerita? Jangan salahkan tingkat pendidikan istri ya, kalian yang memilih mereka waktu menikah. Apa memilih hanya karena cantik saja?

Suka merasa kasihan sama istri2 yang suami2nya lebih memilih bicara dengan orang lain karena istrinya tidak bisa diajak ngomong. Padahal, kalau saya punya pasangan, yang nomor satu saya cari adalah yang bisa saya ajak bicara mengenai apapun juga. Entah senang, entah sedih, entah masalah, entah pekerjaan.

Pada mikir apa ya, pas kawin dulu?

2/15/2016

Yang terbaik untuk Al

Di rumah saya, selain ada 3 ekor anjing, ada dua orang lagi yang ikut dengan saya. Kalau orang lain menyebut pembantu mereka pembantu atau babu atau pembokat, kalau saya melihat Al lebih dari sekedar pembantu.

Yang terbaik untuk Al

Al lebih sebagai asisten pribadi, yang bagi saya sudah seperti keluarga saya sendiri. Al dan suaminya tinggal di rumah saya yang mungil ini sekarang. Sudah hampir 5 tahun Al ikut dengan saya, dan sekarang Al ingin membangun keluarganya sendiri. Rasanya sedih, senang, bangga, ngga rela, segala macam deh.

Ceritanya begini. Al tadinya ikut teman saya yang mengontrak rumah ini sebelum saya. Teman saya pindah ke Dubai, dan Al akhirnya ikut saya.

Tugasnya Al sama seperti tugas pembantu2 yang lain: mencuci, memasak, membersihkan rumah. Tetapi Al ini pandai dan cekatan serta disiplin. Kalau dibelikan buku masakan, dia suka mencoba masakan baru. Kalau ada yang kurang bersih, dia inisiatif membersihkan dan merapihkan tanpa disuruh. Bahkan kapsul2 suplemen saya dia hapal. Di sini letak ke-asistenannya Al.

Dia bisa disuruh membuat list belanjaan, mengingatkan apa yang saya lupa seperti minum obat, memasukkan pakaian olah raga kalau hari saya ke gym dan bajunya matching (pernah juga tabrak lari sih paduannya tapi jarang banget), mengingatkan membayar tukang sampah dll.

Selain itu, Al juga suka saya ajak makan di restoran, ngopi di Coffee Bean atau JCo kalau habis belanja mingguan, atau jalan2 ke mall atau sekedar beli DVD dekat rumah. Pagi2, yang pertama saya lihat selain anjing2 saya, ya si Al ini. Dia membuat kopi, menyediakan obat2 dan sarapan.

Sebelum tidur, Al juga yang terakhir saya lihat selain anjing2 saya. Kadang nonton TV dan DVD bareng, nonton bola bareng, pokoknya banyak hal2 dalam hidup saya yang saya lewati bersama Al. Bukan sekedar pembantu.

Al saya ajar untuk online. Walaupun dia belum bisa chatting dengan Yahoo, tetapi dia sudah punya account facebook. Teman2nya juga banyak, teman saya juga banyak jadi temannya dia malah. Al bisa diandalkan untuk otaknya.

Pernah saya membetulkan sepatu tetapi tidak bisa saya tunggu tetapi ingin melihat hasilnya seperti apa. Al foto sepatu saya dengan HPnya, lalu diposting di Facebook dan saya di-tag. Pinter kan?

Waktu Al putus dengan pacarnya (yang sebelum suaminya ini), dia ngadunya ke saya. Waktu saya putus dengan pacar2 saya, Al yang menyabarkan saya dan nemenin saya yang uring2an di tempat tidur. Waktu saya sakit dan diopname di rumah sakit, Al menengok setiap hari dan menunggui saya yang terbaring lemah.

Al yang mengingatkan saya untuk makan, memberi semangat, ikut senang dikala saya senang dan menemani, bahkan kadang memberi pandangannya yang sederhana bilamana saya sedang susah.

Waktu Al pacaran dengan suaminya yang sekarang, dia juga cerita sama saya dan calon suaminya dikenalkan kepada saya. Sampai akhirnya mereka menikah, suaminya tinggal bersama dengan saya juga. Suaminya tukang listrik, dan baik sekali orangnya. Tahu diri, sabar, membantu, dan sayang anjing juga.

Pendek kata, Al sudah lebih dari sekedar pembantu rumah tangga biasa. Bisa dibayangkan waktu Al mengumumkan bahwa dia berhenti KB dan ingin punya anak dan pulang ke kampung. Wah, stressnya. Bukan hanya stress mencari pengganti yang cekatan seperti dia, tetapi mencari orang dengan attitude riang gembira seperti dia yang sayang anjing.

Orang yang bisa dipercaya dan disayang seperti dia. Karena Al bukan hanya sekedar manusia yang membersih-bersihkan rumah, tetapi juga seorang teman yang setia yang sudah menjadi bagian hidup saya. Maklumlah, saya kan single, di rumah sehari2 juga yang ada yang nemenin ya si Al ini. Jadi menghadapi Al suatu waktu, tahun depan, kalau dia hamil dan kita berpisah itu berat sekali, seolah-olah saya akan menempuh hidup baru.

Banyak yang bilang, “Cari saja lagi”. Tetapi Al adalah Al yang tidak tergantikan. Keceriaannya dia, kerajinannya, kepolosannya akan dia bawa pulang kampung. Al adalah asisten, teman dan keluarga dan saya merasa sebentar lagi akan kehilangan dia. Tetapi bagaimana, dia juga ingin berkeluarga. Dia punya kehidupan sendiri, dimana saya tidak ada di dalam skenarionya.

Dia juga ingin maju dalam hidupnya seperti orang2 lain. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa semoga Al yang baik dan suaminya dikaruniai hidup yang lebih baik daripada sekarang, walaupun saya sangat sedih kehilangan Al. Saya yang sendirian ini, serasa akan ditinggal oleh seorang sahabat baik. Seorang sahabat baik yang sayang kepada saya dan sayang kepada anjing2 saya.

Berat rasanya. Mungkin berat karena saya takut merasa kesepian kalau Al pergi. Mungkin berat karena saya single dan Al adalah manusia yang paling banyak mengisi hidup saya dalam jangka waktu yang lama, baik secara fisik maupun emosional. Iya, betul, saya mempunyai ikatan batin dengan Al, seorang sederhana dari kampung Cilacap berumur 25 tahun.

Tapi tak apa. Hidup ini terus berjalan. Selalu berubah. Walaupun saya sedih dan akan merasa kehilangan, saya akan selalu berdoa semoga Al berbahagia dan maju dalam hidupnya.

2/14/2016

Who Knows About The Future?

Weekend kemarin saya beli DVD yang berjudul “You Will Meet A Tall Dark Stranger” yang disutradarai oleh Woody Allen. Di dalamnya, ada Anthony Hopkins, Antonio Banderas dan Naomi Watts. Ceritanya biasa, hanya kejadian2 yang bisa ditemui di kehidupan sehari-hari, mungkin juga kehidupan di dekat kita.

Who Knows About The Future?

Ada ibu2 setengah baya yang suka ke peramal untuk dilihat masa depan keluarganya. Ada keluarga yang jenuh dengan kehidupan sehari2nya. Ada suami yang tua, yang puber ke dua. Tetapi intinya, tiap2 tokoh dalam filem ini seolah2 merencanakan apa yang mereka inginkan, tetapi yang terjadi selalu sesuatu yang malah tidak terduga. Biasanya, ketemu seseorang yang merubah apa yang sudah direncanakan, atau ada saja yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, yang akhirnya membawa mereka ke suatu titik yang baru.

Yang saya suka, tokoh ibu2 setengah baya tersebut menyamakan reinkarnasi dengan awal dari sebuah kehidupan baru. Kehidupan baru bisa saja terjadi tanpa kita harus mati dulu. Misalnya, ketemu jodoh, itu kan memulai sesuatu yang baru. Beli rumah baru, cerai, dll. Dan dalam setiap kehidupan yang baru, ada teka teki kehidupan, ada misteri yang kita tidak tahu apa isinya untuk kita.

Filem yang pas untuk saya. Belakangan ini saya suka memikirkan, tepatnya agak khawatir dengan apa yang ada di masa depan saya. Mulai deh tebak2an; bagaimana kalau saya sakit karena tua nanti? Bagaimana kalau saya tetap sendirian sampai usia lanjut? Bagaimana kalau tabungan saya tidak cukup ketika saya pensiun nanti? Kekhawatiran yang biasa dipikirkan oleh orang2 secara umum. Orang2 yang selalu ingin berada dalam kontrol, alias control freak.

Tetapi setelah menonton filem ini, saya jadi mikir: kita bisa saja berencana, tetapi tetap Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Siapa yang tahu kita akan ketemu seseorang yang akan merubah hidup kita? Siapa yang tahu kalau satu kejadian akhirnya akan membuat kita menjadi lebih kuat? Siapa yang tahu kalau tiba2 seseorang yang kita sayangi menghilang dan meninggalkan kita nanti?

Jadi, untuk apa jauh2 memikirkan tentang masa depan? Mempersiapkan masa depan tentunya perlu, malah wajib hukumnya, supaya kita tidak menyusahkan orang lain. Tetapi mencoba mengintip masa depan itu sia-sia saja. Karena pada dasarnya kita tidak akan pernah siap menghadapi surprises dalam hidup kita.

Dan setelah saya pikir2, banyak di dalam hidup saya orang2 yang muncul tanpa saya duga. Orang2 yang menjadi teman dekat saya sekarang, padahal tadinya tidak saya pikir akan mempunyai hubungan dekat dengan saya. Bahkan, dalam hidup saya, siapa yang duga saya akan ketemu si Ruby, anjing cantik yang saya adopsi setelah salah satu anjing saya meninggal tahun lalu. Dan Ruby membuat hidup saya lebih berwarna dengan kemanjaan dan perhatiannya.

Kalau dirunut-runut, di mana saya berada sekarang bisa dikembalikan kepada siapa yang saya temui, apa yang saya alami dan apa yang saya baca. Dan ketiga hal ini adalah misteri yang dapat saja muncul dan terjadi tanpa kita tahu kapan. Jadi, memang benar kalau dikatakan manusia berusaha, Tuhan menentukan.

Kita cuma bisa memperbaiki kualitas diri kita supaya menjadi lebih baik, dan sisanya diserahkan ke atas saja. Buat apa mikirin hal2 yang tidak ada di bawah kontrol kita? Toh kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Siap2 boleh, tapi tidak perlu sampai khawatir.

Nikmati saja apa yang ada sekarang dengan menghitung berkah yang sudah kita terima sampai dengan hari ini.